Urgensi Persatuan Bangsa Di Era Digital oleh Inggar Saputra Praktisi Kebangsaan

 

majapahittv.com Dalam pilihan bernegara, sebenarnya pemikiran pendiri bangsa Indonesia agak unik. Mereka memilih bentuk negara republik, diawali kata kesatuan. Makna kesatuan dipilih agar negara terikat kontrak dengan warga negara, melalui sistem demokrasi. Implementasinya di pemilu, dimana warga negara bebas menentukan pilihan politiknya. Kata kesatuan, dipakai jangan sampai negara ini dikuasai segelintir orang atau elite tertentu. Kesatuan juga digunakan mengacu kepada kondisi geografis, dimana negara ini banyak kepulauan yang harus disatukan. Dalam pilihan republik, terkandung semangat bersatu atas kepentingan bangsa dan negara. Ini berbeda misalnya dengan bentuk negara monarki, dimana pemujaan simbolik terhadap raja menjadi identitas negara tersebut.

Konsep kesatuan dan Republik juga sejalan dengan Pancasila, khususnya sila ketiga dan keempat yang menekankan persatuan dan gotong royong atau musyawarah mufakat. Kita sudah percaya dengan konsep kesatuan, jarak antar pulau dapat diatasi. Semangat bersatu menjadikan kepentingan pribadi dan kelompok tetap dijamin negara, tapi tidak lebih besar daripada kepentingan bangsa dan negara itu sendiri. Itulah mengapa, Bung Karno dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan ”Negara ini, Republik Indonesia, bukan milik kelompok manapun, juga agama atau kelompok etnis manapun, atau kelompok dengan adat tradisi apapun, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”

Negara Indonesia yang demokratis, menghargai perbedaan pandangan dan kelompok, tetapi harus dapat dikelola agar tidak bersifat destruktif (merusak). Perbedaan pandangan baik agama, kelompok, kesukuan, maupun kepentingan manapun tidak boleh melanggar prinsip Indonesia sebagai negara hukum. Adanya perbedaan pandangan tidak dinafikan, tapi harus diarahkan kepada kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Jika ada pikiran yang ingin menggantikan konsep dasar bernegara, maka pandangan itu harus dikendalikan, dikelola dan diluruskan agar tidak menjadi sarana pemecah belah bangsa Indonesia.

Jika kita melihat kondisi hari ini, di era digital yang ditandai maraknya penggunaan internet dan media sosial sebagai sarana pertukaran dan referensi informasi masyarakat Indonesia. Kita perlu mendukung semua nilai, prinsip, kegiatan dan perilaku positif di media sosial dan internet. Tidak bisa dipungkiri, keseharian kita bertemu dengan banyak orang dengan beragam karakter di media sosial, tetapi jangan sampai membiarkan hidup kita sebagai bangsa Indonesia dipecah-belah dan diadu domba oleh berbagai pihak yang ingin merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Adanya individu, kelompok dan gerakan pemecah belah bangsa yang berlindung di balik fenomena media sosial harus terus diwaspadai segenap elemen bangsa Indonesia.

Sebagai pemilik bangsa, setiap warga negara Indonesia harus kritis terhadap berbagai narasi yang ada di media sosial. Maraknya buzzer yang dikendalikan untuk kepentingan politik tertentu menjadi sebuah kewajaran dalam merespons perbedaan pandangan politik. Dalam konsep makan bergizi gratis misalnya, ada buzzer yang ”sibuk” mendukung kebijakan pemerintah tetapi ada juga yang merespons berlawanan. Tetapi jangan sampai perbedaan pandangan itu menjadi alat menciptakan polarisasi politik sehingga membelah sikap masyarakat dan berujung konflik dengan nuansa kekerasan. Di tengah situasi darurat literasi, perlu ada tindakan dan sikap berfikir kritis terhadap berbagai narasi yang didengungkan para buzzer. Konteks ini, negara perlu mengambil peran misalnya dengan mendorong aturan hukum tertentu yang membatasi sejauhmana buzzer tidak bertentangan dengan prinsip hukum di masyarakat. Selama ini, pengendalian dan pengelolaan negara terhadap buzzer hanya sebatas membuat satuan tugas pengendali buzzer, tetapi tidak menciptakan aturan hukum yang tegas dan mengikat terhadap buzzer yang mengancam eksistensi hukum, menciptakan perpecahan dan menciptakan polarisasi politik di masyarakat.

Selain persoalan buzzer, kita juga perlu mewaspadai berbagai upaya dari gerakan transnasional yang tidak sejalan dengan prinsip bernegara. Gerakan mengganti ideologi negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila harus mendapatkan perhatian negara. Kita memang sudah menyetujui Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, ini sejalan dengan prinsip yang melekat dan disepakati bersama pendiri bangsa, Tetapi sejalan dengan waktu, era digitalisasi dan kondisi darurat literasi berpotensi menghilangkan kesenjangan pengetahuan mengenai Pancasila antara generasi masa lalu dengan generasi sekarang (generasi Z). Kondisi ini berpotensi menganggu prinsip negara republik dan kesatuan, sehingga perlu ada daya ungkit kreatif mengenalkan Pancasila kepada anak muda, baik segi teori atau pengetahuan, maupun praktek di lapangan yang bersifat dinamis. Serupa, maraknya gerakan transnasional khususnya berakar pada unsur keagamaan atau kesukuan dari negara lain juga perlu mendapatkan perhatian. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila tidak menolak masuknya pemikiran asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi jangan sampai pengaruh asing mengintervensi terlalu dalam kehidupan bangsa Indonesia, sehingga berupaya mengganti ideologi yang bersifat nasional yaitu Pancasila.( inggar saputra Praktisi kebangsaan ).

Mpt reed