Hilangnya Spirit literasi Mahasiswa ( Inggar Saputra Pengamat )

 

majapahittv.com Seorang teman dalam sebuah kesempatan menyampaikan pandangannya sambil bertanya ”Sekarang zaman sudah digital, masih pentingkah buku bacaan? Masih ada memang orang yang mau baca tulisan, di era konten kreator sudah menyulap tulisan jadi video?” Sebuah pertanyaan itu cukup menggelitik, sebab memang itulah realitas bangsa Indonesia hari ini. Media sosial sukses menyulap kita menjadi bangsa yang malas membaca. Banyak keseharian kita dihabiskan depan instagram, tiktok dan facebook untuk memposting berbagai konten yang jauh dari nilai edukatif. Era video dan kecanggihan kecerdasan buatan membuat kita jadi bangsa yang malas membaca. Pelan tapi pasti, kita kecanduan media sosial sehingga kehilangan waktu membaca, digantikan kesibukan scrolling belanja, update foto selfie dan melihat video yang kehilangan edukasinya serta menguras produktivitas kehidupan sehari-hari. Kita kedatangan sebuah masa dimana berita gosip artis, penyebaran berita palsu, dan prasangka dengan bumbu isu politik lebih dominan dibandingkan menghabiskan waktu membaca, menulis dan menciptakan karya nyata yang membanggakan diri dan bangsa Indonesia.

Dalam kesempatan lainnya, kepala saya dibuat pusing. Bagaimana tidak, seorang mahasiswa membuat tugas esai bertema kewarganegaraan. Ketika dicek menggunakan chatgpt, hampir semua kalimatnya mengandung unsur menjiplak. Kita terpuruk karena perilaku kaum intelektual terpelajar di kampus dan sekolah kehilangan daya kritisnya. Semangat membaca semakin mendekati titik kerentanan, digantikan budaya serba instan dan cepat melalui akses media sosial dan kecerdasan buatan. Kita kehilangan manusia yang berfikir dan bertindak merdeka, sebab hidupnya sudah dikuasai berbagai platform media baru dan teknologi kecerdasan buatan. Betapa kemudahan kecerdasan buatan cenderung dimanfaatkan sebagai metode praktis dalam menyalin sebuah pertanyaan yang diberikan dosen atau guru. Repotnya mereka menyalin utuh, tanpa adanya unsur seleksi apalagi upaya membaca dan mengkaji kembali ”kebenaran” atas narasi dalam bacaan tersebut.

Di tengah realitas semakin melemahnya daya kritis, nilai keaslian sebuah karya dan ketergantungan yang kuat kepada berbagai alat kecerdasan buatan. Kita layak bertanya, dimana posisi membaca dan menulis sebagai bentuk literasi manusia di abad kekinian. Jawaban yang cukup relevan, budaya membaca dan menulis tak boleh hilang dalam kehidupan manusia Indonesia. Membaca buku bukan sekedar melewatkan kata demi kata dalam pikiran, kemudian menguap terbawa angin lalu. Membaca baik buku fisik dan elektronik, lebih kepada menciptakan pikiran agar tetap berproses dan memiliki daya pikir kritis. Anda bisa bayangkan misalnya, ada sekelompok mahasiswa menolak kebijakan negara agar tidak menaikkan uang kuliah dalam sebuah demonstrasinya. Tetapi dia gagal membaca realitas, sebab beberapa hari sebelumnya sudah ada jaminan uang kuliah tidak naik. Inilah efek kurang membaca, sehingga nalar ilmiah berkurang digantikan kegagapan menciptakan tuntutan ”asal bunyi” yang bersifat emosional kepada negara.

Di era digital, membaca apapun bentuknya, apakah buku, media online, jurnal ilmiah, maupun koran sekalipun selayaknya menjadi kebutuhan utama. Jika perlu dijadikan menu sarapan pagi selain makanan yang kita makan sehari-hari. Sebagai aktivitas fisik, membaca adalah vitamin bagi kehidupan manusia, sebab hasil bacaan akan mendorong pikiran kritis, sehingga potensi menciptakan gagasan baru akan bermunculan. Di era yang penuh ketegangan akibat disrupsi, berbagai ide baru yang inovatif akan muncul ketika bacaan dikaji secara kritis. Pertanyaannya kemudian, bagaimana ide baru akan bermunculan di Indonesia ketika kaum terpelajar malas membaca? Bagaimana daya kritis akan hadir mengisi peradaban manusia, ketika minat baca rendah sehingga hasilnya muncul generasi yang suka ”copi paste”? Di saat pertanyaan ini muncul, maka di titik inilah semangat berliterasi khususnya budaya senang membaca muncul sehingga pikiran tidak kosong. Sebab pikiran yang kosong cenderung diisi dengan berbagai ”serangan” media sosial yang tidak produktif dan mendidik. Apalagi jika diikuti budaya menolak berfikir kritis dan membaca ulang bahan bacaan, sebab sudah ”terlanjur” percaya kepada berbagai informasi yang disampaikan platform kecerdasan buatan.

Pentingnya membaca juga dirasakan mendesak di saat informasi semakin bercampur antara sebuah kebenaran dan jutaan kebohongan. Di era paska kebenaran (post truth) fenomena informasi menyebar cepat dan banyak disertai pemberitaan dusta yang bertujuan membohongi masyarakat dan menciptakan gejolak permusuhan antar anak bangsa. Kita dibanjiri beragam narasi provokatif yang pendek, singkat meski tak jarang muncul pula dalam pemberitaan dengan konten beberapa paragraf. Narasi hoaks yang provokatif menyebar agar menimbulkan gejolak emosional, mendorong konflik antar anak bangsa dan merusak kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akibat kurang membaca, kita terjebak dalam hoaks dan merugikan kepentingan diri sendiri serta orang lain. Untuk mengurangi hoaks dan meningkatkan daya kritis masyarakat, membaca dengan mengkaji dan membandingkan informasi, serta tidak mudah percaya atas sebuah informasi menjadi kunci utamanya. Jangan sampai akibat hoaks, kita mudah marah, kemudian bertindak anarkis dan ”terpaksa” berurusan dengan aparat penegak hukum.Penulis Inggar Saputra Pengamat Pendidikan,

Maja tv.